Selasa, 10 Juni 2008

GREBEG BELO RAOS 15 PURNAMA
Mangayubagya HUT Kota Semarang ke-459

Usia lebih dari empat setengah abad (baca: 459 tahun) pastilah bukan waktu yang pendek. Jika dibuat rata-rata, usia manusia Indonesia atau seseorang di muka bumi ini mencapai 80 tahun, maka paling tidak ada 5-6 generasi pernah hidup dalam kurun waktu tersebut. Jadi bisa dibayangkan betapa panjangannya susunan cerita, susunan monumental, susunan sejarah, dll, yang terjadi dan memungkinkan terjadi mewarnai perjalanan waktu empat setengah abad bahkan lebih itu.

Sebagai salah satu kota tua di negeri ini, Semarang di usia 459 tahun, ke depan, jelas makin menghadapi tantangan yang berat. Di antara yang berat itu, ada salah satu tantangan yang cukup merisaukan, yaitu globalisasi. Padalah, dalam praktiknya, yang namanya globalisasi adalah kaki tangan kapitalisme. Mungkin kita tidak alergi terhadap globalisasi, karena tahu jurus dan kiat menghadapinya. Namun bagi sebagian orang yang meresapi atau menanggapinya dengan membabi-buta, justru akan membuat persoalan baru yang ditingkat akut akan menggerogoti nasionalisme sebuah bangsa.

Kaitannya dengan itu, sebagai warga Semarang, maka Paguyuban Tri Tunggal menggelar ritual budaya “Grebeg Belo Raos” tersebut. Belo Raos berasal bahasa Jawa yang berarti rasa untuk membela bersama-sama. Dalam konteks HUT Kota Semarang ke-459, dengan ritual belo raos tersebut mengharapkan masyarakat Kota Semarang lebih memiliki kesadaran kolektif budaya demi terciptanya identitas dan jatidiri yang kuat agar tak tergerus arus globalisasi yang merisaukan tersebut. Mangajak masyarakat untuk memperkuat kekuatan sosial serta ketahanan mental spiritual agar persatuan dan kesatuan tercipta untuk membangun wilayah Semarang.

Ritual budaya Grebeg Belo Raos itu persisnya digelar Sabtu Kliwon 13 Mei 2006. Ritual yang dipusatkan di Simpang Lima pukul 15.30 WIB itu sebelumnya akan didahului kirab pusaka dan kirab 10 Gunungan Lanang-Wadon dari lima titik yang berbeda. Gunungan tersebut adalah menyimbulkan dunia makro dan mikrokosmis manusia. 10 gunungan tersebut keseluruhan berisi hasil bumi, bumi dimana manusia berpijak dan hidup golek pangan.

Dari masing-masing titik (peta terlampir), ritual yang diikuti oleh ribuan massa dan dikawal ratusan siswa/murid Paguyuban Tri Tunggal dari Bandung, Bali, Sidoarjo, Solo, Malang, Balikpapan, Semarang, dan Jogjakarta dengan mengenakan busana prajurit Jawa lengkap dengan tombak, panah dan pedang, diperkirakan akan menempuh perjalanan 1 Km dari start.

Iring-iringan kirab finish di Simpang Lima disambut Satguru Paguyuban Tri Tunggal Romo Sapto dengan lantunan Kidung Mantrawedho. Setelah kumandang mantra sakral dan gaib itu berakhir kemudian dilanjutkan dengan atraksi tari spiritual masyarakat Dayak yang ikut bergabung dalam ritual budaya tersebut dengan tujuan nggayuh kang ngrekso gaib Semarang dan memohon kesejahteraan, kedamaian untuk masyarakat Kota Semarang serta memohon berkah kesejahteraan bangsa dan negara.

Usai tarian sakral berakhir, atas kehendak masyarakat Semarang, Romo Sapto dengan didampingi Kepala Praja Paguyuban Tri Tunggal Cabang Semarang Dimas Endri Sardjanto, memberkahi 10 gunungan lanang dan wadon yang sebelumnya dikirab 1 Km dari masing-masing titik yang kemudian disatukan di Simpang Lima.

Beriring dengan lantunan kidungan perenungan oleh Romo Sapto yang diiriring kelompok Giring, 10 gunungan lanang dan wadon kemudian bisa ditayuh (dirayah/diperebutkan) bersama-sama oleh segenap masyarakat Semarang yang hadir di Simpang Lima. Sepuluh gunungan berkah dan rayahan itu adalah simbolik sebuah kebersamaan yang harus dijaga, dirawat, dan dipertahankan untuk mewujudkan ketahanan mental spiritual agar persatuan dan kesatuan membangun wilayah Semarang tercapai. Nderek mangubagya dan Selamat HUT ke-459. (*)
Press Release

Disadari, sebuah negara tanpa memiliki kejelasan ideologi sama artinya menjadi negara bayang-bayang. Negara yang bukan senyatanya. Kesadaran seperti ini secara terus menerus akan memberikan rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa.

Nyaris sepuluh tahun lamanya sejak arus besar reformasi bergulir, sejak cita-cita reformasi itu sendiri disadari berjalan di tempat, jutaan rakyat negara ini mulai mengalami kekosongan, kejenuhan, serta hilangnya interaksi kepercayaan atas negara. Dan yang paling dahsyat, adalah hilangnya kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Itu artinya, rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa sedang dalam posisi terancam.
Keterancaman ini otomatis membuat rakyat gelisah. Dan kegelisahan itu sudah menampakkan wujud nyatanya. Contoh yang sederhana; begitu gampangnya orang mematikan sesamanya hanya gara-gara utang-piutang, begitu mudahnya perkosaan-pencabulan terjadi, begitu sederhananya sekelompok orang mengharamkan kelompok lainnya, begitu seramnya sebuah ormas menghabisi ormas lainnya yang tak sepaham, begitu naifnya orang memelototi sesamanya hanya karena tersenggol kulitnya, begitu seenaknya kelompok bermodal membabati hutan-hutan hingga banjir dan longsor tiada henti terjadi, dan seterusnya, begitu menggampangnya pabrik-pabrik membuang limbahnya ke sungai-sungai, padahal mereka tahu belaka air sungai itu dibuat mandi, mencuci, bahkan untuk merebus makanan, dan seterusnya.
Tentu ini bukan era kegelisahan. Bukan pula cita-cita reformasi. Namun fenomena-fenomena itu makin ”diresapi” masyarakat. Ini sungguh mengerikan. Sebab itu, saat ini, dan sangat mendesak, kita membutuhkan sebuah pencerahan. Wujudnya adalah rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi tersebut memungkinkan seluruh elemen bangsa yang sedang bersitegang, bersinggungan, terlibat ”pertempuran” untuk bertemu dan duduk satu meja. Berangkulan, berbicara, berembug, lalu memutuskan untuk mengembalikan cita-cita luhur bangsa ini agar menjadi negara kuat, disegani, makmur, bermartabat di tengah percaturan dunia global yang makin menggiriskan.
Rekonsialiasi nasional ini bisa menjadi tonggak negara (baca:pathok negoro) untuk menangkis sekaligus mengikis isu-isu globalisme bikinan negara-negara maju yang adi kuasa. Rel pencerahan itu sudah ada. Founding fathter negeri ini sudah meletakkan dasar-dasarnya, yaitu Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Kita hanya perlu membuang karatnya, mengasah kembali bagian-bagian yang tumpul dan yang sengaja ditumpulkan, mencuci dan mengelap kisi-kisinya hingga sempurna agar siap digunakan sesuai fungsi dan filsafatnya. Setelah itu menguncinya dalam sebuah Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro.
Adalah hal yang abstrak ketika gagasan besar untuk pencerahan jutaan rakyat negeri ini tersebut tanpa dibarengi sebuah gerekan. Terkait dengan itu, Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Paguyuban Tri Tunggal Studi Kajian Teologi Kerakyatan, Pusat Studi Tamansari Dunia dengan Komunitas Masyarakat Adat Abdi Dalem dan 14 elemen kekuatan sosial lainnya






Percayalah, sudah saatnya rekonsialiasi nasional kita genggam. Sedikit menengok kebelakang, hingga nyaris di titik nadir hidupnya, Soeharto – mantan presiden RI kedua, penguasa rezim Orde Baru tigapuluh dua tahun lamanya, jenderal besar bintang lima, sesepuh tertinggi partai berkuasa berlambang pohon beringin di zaman Orde Baru, pelindung puluhan yayasan yang memiliki kekayaan triliunan rupiah, berikut sederet jabatan eksklusif yang disandangnya – meski saat itu sedang kritis kesehatannya, masih mampu membuat ”gempa” polemik kepentingan seluruh elemen bangsa di negeri ini.
Seharusnya, pasca tumbangnya Orde Baru yang digenggamnya lebih dari seperempat abad lamanya, pasca lengsernya Soeharto dari kursi tertinggi eksekutif sebagai presiden, selesai pula tugasnya dalam percaturan politik dan kekuasaan di negeri ini. Namun, kenyataannya kasat mata, tidaklah demikian. Transformasi kekuasaan yang dipaksa bergulir oleh arus besar reformasi membuat dinamisasi kehidupan bernegara berjalan tidak normal.
Ketidaknormalan dinamisasi kehidupan bernegara itulah yang membuat gempa polemik kepentingan menghentak lagi di awal tahun 2008 ini nyaris seperti dentuman meriam, lebih lagi disusul kritisnya kesehatan Pak Harto. Dentuman itu begitu kuat, bahkan lebih kuat ketimbang arus yang digulirkan reformasi yang terkenal dengan tahap puncak pengadilan Soeharto beberapa waktu silam. Jaksa Agung silih berganti, juga diputuskan untuk datang dan pergi. KPK – sebuah lembaga negara dengan perlengkapan dan amunisi perang yang komplit berikut ”kesaktiannya” yang tanpa batas dimunculkan untuk mengatasi ketidaknormalan dinamisasi kehidupan bernegara tersebut, namun kenyataannya kinerja yang ditunjukkan masih jauh panggang dari api.
Siapapun tahu, tugas Soeharto berhenti di tengah jalan. Gelombang reformasi yang menghentikannya. Namun, siapapun tahu juga, semua ini juga menyisakan simpul tak terurai ketika Soeharto mulai dicap paling berdosa atas zaman sebelum reformasi digulirkan. Disinilah tarik menarik-kepentingan menjadi polemik tak berkesudahan yang menghadirkan ketelanjangan yang begitu naif. Kenaifan yang menghabiskan energi kebangsaan yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun sebuah peradaban Indonesia baru berdasarkan Pancasila.
Kini Pak Harto sudah tiada. Wafat Minggu Wage (27/1/2008) lalu, di bulan Suro 1941 Jimawal. Tapi bernarkah, ketiadaan itu membuat keadaan negeri jadi lebih baik, atau justru sebaliknya? Ataukah akhir dari sebuah nasib dan takdir yang memutus sekian persoalan, kemudian terpaksa harus dimaklumi secara kolektif?. Tapi itu tidak penting. Tidak perlu dipolemikan. Yang jauh lebih penting dan mulia untuk dilakukan, yaitu membawa persoalan dharma Soeharto beserta jaring guritanya ke ranah rekonsiliasi nasional. Tujuannya adalah menghapus dendam sejarah dan politik serta ketelanjangan naif yang sudah terlanjur diumbar sehingga merontokkan sendi-sendi ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang sekian abad lamanya sudah menjadi patron bernegara.
Dalam konsep kecerdasan lokal atau yang seringkali juga disebut sebagai kerarifan budaya lokal yang mendarah daging dalam sebuah adat istiadat, ada sebuah metode yang nJawani disebut Taliwangsul Dharma Ksyatriya. Gagasan yang tertuang dalam Taliwangsul inilah yang bisa dipakai sebagai acuan rekonsiliasi nasional yang coba dipercikkan oleh beberapa elemen kebangsaan yang terdiri dari Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Paguyuban Tri Tunggal Studi Kajian Teologi Kerakyatan, Pusat Studi Tamansari Dunia dengan Komunitas Masyarakat Adat Abdi Dalem dan 14 elemen kekuatan sosial lainnya.
Dalam konteks wafatnya Soeharto terikat dalam sebuah dharma ksyatriya. Ibarat gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan kebajikan serta tauladan. Terkait konsep Taliwangsul, adalah wajib mengingatkan para putra-putri jejaring Seharto untuk memenuhi tugas-tugasnya yang belum terpenuhi setelah power kekuasannya mandeg akibat arus besar reformasi. Demi sebuah tuntutan dharma yang disimpulkan dalam tarikan simpul belenggu Taliwangsul. “Tali” sebagai belenggu bangsa ini yang masih mengikat erat dan perlu usaha untuk menarik simpulnya dengan rekonsiliasi. Sekedar untuk mengembalikan tali yang terbelit – mengikat dharma Soeharto beserta jejaring Orde Baru yang masih memiliki eksistensi di negeri ini, meskipun Soeharto sebagai pimpinan telah wafat.
Pertimbangan dasar Dharma Ksyatriya sebagai tuntutan alamiah. Kesadaran belenggu “Taliwangsul” Jejaring Soeharto, segera dijawab dengan sebagai pilar utama memimpin semua jaringan sejawat, relasi, teman, kerabat, bahkan mungkin musuh yang selama ini menyimpan kekayaan negara untuk pribadi dan kelompok agar dikembalikan kepada negara dan rakyat. Konsep Taliwangsul memungkinkan rekonsiliasi nasional diwujudkan tanpa ada yang perlu dipolemikkan kembali, karena dasar pelunasannya.
Sudah menjadi rahasia umum, Kritisnya Soeharto memiliki muatan dendam sejarah dan politik yang sulit terlunasi. Terlalu banyak tabir yang tak bisa disingkap. Harga kebutuhan primer terpengaruhi dan banyak diantaranya telah import. Ketika, eleman-elemen bangsa menuntut kejelasan status Pak Harto, sementara itu pula terjawab oleh kekritisan bangsa. Perjuangan menuntut keadilan ibarat punguk merindukan bulan. Sementara diluar itu, jejaring Orde Baru yang bertahan dengan sigap terhadap segala upaya perjuangan yang menuntut keadilan.
Lantas apa yang terjadi? Energi negeri ini akan terkuras habis untuk mengurusi segala macam tarik-menarik kepentingan yang tak berkesudahan. Padahal, energi negeri ini harusnya bisa dipakai untuk menentukan arah pembangunan nasional untuk menuju kemakmuran jutaan rakyatnya. Sementara energi cadangannya bisa dipakai untuk mengatasi krisis kedelai yang mengakibatnya industri tahu dan tempe kukut. Mengatasi kelangkaan minyak tanah, menghadang beras impor, melahap pencuri ikan diperairan Indonesia, mengentaskan konflik SARA yang menyebar, memberikan solusi terang beban ideologi bangsa dan negara dan menjadikan ikon budaya sebagai perwujudan moral dan wajah bangsa yang bermartabat, dll.
Begitulah! Mengapa kita tidak menghemat dan menyimpan energi? Yang pasti, dari kritisnya kesehatan Soeharto hingga wafatnya cukup pantas untuk dijadikan sebagai medium rekonsiliasi nasional sekaligus menentukan kerangka kebangsaan di bawah Pancasila. Kami memandang rekonsiliasi nasional sudah waktunya digelar. Sebuah kegiatan yang mampu menebus ”dosa turunan” yang disandang oleh bangsa Indonesia. Dosa rezim Orde Baru (Soeharto) ditumbangkan oleh pergerakan reformasi, dosa rezim Orde Lama (Soekarno) yang ditumbangkan oleh gerakan Tritura.
Saat inilah momentum yang tepat, ketika seluruh elemen bangsa sedang terlihat nyata tarik-menarik kepentingan yang justru hanya membuang-buang energi yang tak terkira dahsyatnya. Sebuah negara yang dihantui oleh pertikaian yang terus berlanjut dari generasi ke generasi sudah saatnya dihentikan, agar bisa mulai membangun sendi-sendi perikehidupan yang terkoyak oleh pergerakan zaman. Rekonsiliasi nasional cukup dihadiri para pemimpin nasional dengan menyepakati pijakan penengah bagi kehidupan yang saling menghormati tiap-tiap elemen bangsa tanpa harus ada persinggungan.

Maksud & Tujuan
Rekonsiliasi Nasional menjadi momentum melepaskan belenggu dendam sejarah / politik pada massa kekuasaan Orde Baru.
Mencari solusi atas fenomena paradoksal yang mengambang dan tak menentu dipertegas dalam Tali Wangsul.
Rekonsiliasi Nasional sebagai wadah budaya kesatuan antara politik, militer, ekonomi, geopolitik NKRI, dan Pathok Negoro Pancasila.
Menumbuhkan jati diri dan identitas bangsa melalui kearifan dan kecerdasan lokal yang sejatinya sudah mendarah daging dalam adat istiadat masyarakat di negeri ini
Memberdayakan masyarakat secara luas guna menepis persengketaan SARA dan mefokuskan pada penyelesaian secara moral dalam wadah rekonsiliasi.

Metodelogi
Mengunakan metodelogi sistem belajar dan mengajar bagi masyarakat secara luas dengan pendidikan verbal dengan dasar formal untuk menggiatkan kesadaran berbangsa dan bernegara sesuai tata bahasa dalam kesadaran definisi, arti, dan makna semestinya.

Pendekatan
Pendekatan budaya kearifan dan kecerdasan lokal sebagai sarana publik dalam mengekspresikan kecintaan tanah air atau identitas dan jati diri bangsa sebagai strategi kebudayaan.

Batasan
Tidak mempropagandakan politik aliran (kepentingan untuk kekuasaan) maupun agama beserta keyakinan dan kepercayaan. Namun menegakkan batasan dan orientasi dasar tujuan serta perjalanan negara berdasarkan Pancasila, Preambule UUD’45 dan jiwa Bhinneka Tunggal Ika.

Pendukung kegiatan
Segenap kalangan yang berjiwa Bhinneka Tunggal Ika. Kalangan tersebut terdiri dari 14 Elemen sosial, Segenap Ulama dan pendeta serta pemimpin agama yang tergabung dalam FPUB (Forum Persaudaraan Umat Beriman). Tokoh – tokoh kecerdasan lokal tingkat nasional dan lokal. Tokoh – tokoh kebangsaan tingkat nasional dan lokal. Ormas – ormas, paguyuban, patembayan dan organisasi serta perhimpunan di wilayah nusantara, dll.

Pemrakarsa / penyelenggara
Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Paguyuban Tri Tunggal dan Pusat Studi Taman Sari Dunia beserta elemen Abdi Dalem Tan Keno Wola Wali.

Bentuk Kegiatan
Kirab Rekonsiliasi dengan Tema Tali Wangsul Dharma Ksyatriya & Keadilan
Pesan moral bagi kepemimpinan nasional dengan Musikalisasi Mantra Serat Nitisruti.
Deklarasi untuk Rekonsiliasi Nasional Pathok Negara.

Waktu & Tempat Pelaksanaan
Hari Kamis, 7 Februari 2008, Jam 11.30 – selesai.
(menjelang Tutup Suro 1941 Jimawal)
Sinandi menyongsong abad 21 sebagai abad pencerahan bagi bangsa dan negara Indonesia.

Tata Acara Deklarasi & Rekonsiliasi
11.30 : kumpul & rehat di lapangan kota Barat
12.00 : Sholat Bersama
12.45 : Gunungan dan peserta kirab di berangkatkan.
13.45 : Mengelilingi Taman Sriwedari
14.45 : Kembali di Jl. Slamet Riyadi menuju Balai Kota
16.45 : Sampai Balai Kota diterima Walikota
17.00 : Rekonsiliasi (mediator Prof. Dr. Damarjati Supadjar serta Aryo Salugu) dan penyerahan Keris Pasopati untuk menegaskan tugas Dharma Ksyatriya dan keadilan kepada 50 tokoh ksyatriya.
17.30 : Penyembelihan Kerbau Bule sebagai lambang meluruskan sejarah yang telah termanipulasi oleh retorika dan konspirasi politik masa lalu.
17.40 : Pernyataan bersama di atas prasasti “Rekonsiliasi Nasional” Pathok Negara secara tertulis.
Sholat Mahrib bersama di Balaikota bersama Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Walikota beserta tamu undangan.
19.15 : Orasi dengan Musikalisasi Serat Nitisruti
Gunungan diperebutkan setelah disepakati dengan doa bersama FPUB (Forum Persaudaraan Umat Beriman) dengan iringan musikalisasi mantra.